Kamis, 15 Desember 2016

Penangkapan Pelaku Teror yang Menargetkan Istana Jadi Bukti Sinergi BIN dan Penegak Hukum

Anggota Komisi I DPR Charles Honoris mengapresiasi keberhasilan Polri menangkap dan menggagalkan aksi teror yang menargetkan Istana Negara.

Menurut Charles, hal tersebut merupakan bukti adanya sinergitas yang baik antara BIN dan penegak hukum.

"Sinergitas yang baik menghasilkan deteksi dini dan pencegahan yang efektif atas aksi-aksi teror yang mengancam Indonesia," kata Charles melalui pesan singkat, Senin (12/12/2016).

Politikus PDIP itu mengungkapkan organisasi teror seperti ISIS dan ideologinya merupakan ancaman yang sangat nyata hari ini.

Ancaman tersebut bukan hanya berbentuk aksi terorisme, tetapi dapat bermanifestasi dalam wujud gerakan politik yang mengganggu stabilitas politik negara termasuk makar.

"Negara tidak boleh kalah dari kelompok-kelompok teror dan ideologi radikal," katanya.

Menurutnya, seperti yang dikatakan presiden Joko Widodo, jangan beri ruang untuk paham radikal berkembang di bumi nusantara.

Charles menuturkan kelompok radikal sudah melakukan infiltrasi ke berbagai jaringan maupun Ormas di Indonesia.

Bahkan ada Ormas yang sudah secara terbuka mendukung ISIS dan pentolannya membaiat warga menjadi pengikut ISIS.

"Koordinasi yang baik antara lembaga intelijen dan penegak hukum harus terus ditingkatkan. Inilah yang bisa menggagalkan ancaman ISIS terhadap Indonesia dan menjaga keutuhan NKRI," kata Charles.

Sumber : Tribunnews

Rabu, 05 Oktober 2016

Komisi I minta pemerintah bentuk aturan soal TNI selain berperang

Charles Honoris (Tengah)

Anggota Komisi 1 DPR fraksi PDIP, Charles Honoris mengatakan, Tentara Nasional Indonesia (TNI) menjadi lebih profesional usai Orde Baru tumbang. Menurut dia, karena dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) telah dihapuskan melalui Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 yang menyebutkan tugas utama TNI adalah mempertahankan kedaulatan negara.

Dia mengatakan, tugas pokok TNI ialah menjaga kedaulatan, namun selain itu sifatnya hanya membantu saja. Perbantuan tersebut sering di dengar dengan istilah Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

"Yang mengaturnya tidak hanya sebatas MoU (kesepakatan) karena rawan disalahgunakan," papar Charles kepada awak media di kantor YLBHI, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (3/10).

Dilanjutkannya, turunnya para militer selain ke dalam perang seharusnya melalui keputusan politik negara. Hal tersebut menunjukan bahwa harus ada keputusan presiden dengan persetujuan DPR. Oleh sebab itu, sangat dibutuhkan sekali adanya UU Perbantuan yang mengatur secara rinci dan teknis OMSP.

"Misalnya diperbantukan untuk apa dan dalam kondisi apa. Harus ada undang-undang turunan dari UU TNI sekarang. Sehingga tidak menjadi polemik sekarang ini," ujar dia.

Menurutnya, sekarang ini banyak sekali instansi-instansi yang meminta bantuan secara langsung kepada TNI tanpa melalui prosedur yang berlaku. Hal tersebut dapat menyebabkan masalah di kemudian hari karena tidak terdapat payung hukum yang mengatur.

"Pemahaman saya itu tidak bisa harus ada persetujuan dari presiden dong. Persetujuan Presiden dan DPR sekarang yang dilangkahi," ucap Charles.

Militer kini pun telah di terjunkan untuk di perbantukan ke dalam kegiatan-kegiatan pemerintah daerah seperti penggusuran hingga pertanian. Dia menyebutkan bahwa terdapat contoh di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Pada bulan Mei lalu, DPRD Sulawesi Selatan menyampaikan informasi tentang adanya puluhan anggota TNI di Kabupaten Pinrang yang melakukan razia dan sweeping kepada truk yang membawa beras ke kabupaten lain untuk di jual. Para petani diharuskan menjual berasnya kepada Bulog dengan harga lebih murah.

"Ini pelanggaran dari kewenangan TNI sebagai alat pertahanan negara," tandas Charles.

Sumber : MERDEKA

Selasa, 02 Agustus 2016

Anggota DPR Minta Pemerintah Perhatikan Kondisi Psikologis Keluarga

Sumber Foto : BeritaSatu
Keluarga dari tujuh anak buah kapal (ABK) yang menjadi sandera kelompok Abu Sayyaf, meminta pemerintah bersikap aktif untuk mendampingi mereka selama proses pembebasan. Keluarga berharap bisa terus mendapatkan perkembangan informasi terkait kondisi para sandera.
Perwakilan keluarga dari tujuh ABK kapal tunda/penarik (tugboat) Charles 001 dan kapal tongkang Robby 152 yang disandera sejak 20 Juni 2016, mendatangi kantor Direktorat Perlindungan WNI dan Badan Hukum Indonesia (PWNI) Kementerian Luar Negeri hari Senin (1/8). Kedatangan mereka difasilitasi oleh dua anggota DPR dari Fraksi PDIP yaitu Irine Yusiana Roba Putri dan Charles Honoris.
"Sebagai Komisi I kita harapkan bahwa pemerintah tidak lalai dalam memperhatikan kondisi psikologis keluarga karena sekecil apa pun informasi mengenai korban di sana, itu sangat berarti," kata Irina kepada wartawan usai pertemuan di kantor PWNI, Jakarta, Senin.
Irina mengatakan kedatangan Komisi I DPR ke Kemlu untuk memastikan alur komunikasi dan kerja sama antara pemerintah, keluarga korban, dan perusahaan bisa berjalan dengan baik. Semua pihak, ujarnya, punya tujuan sama yakni memulangkan korban penyanderaan dengan selamat.
"Agar bisa menjadi soliditas untuk meringankan beban korban di sana, sehingga segera misi (pembebasan) itu terselesaikan," kata Irine.
Peristiwa penyanderaan tujuh ABK WNI ini merupakan insiden penculikan ketiga pada 20 Juni 2016. Kejadian itu disusul insiden penculikan keempat dengan sandera tiga WNI pada 9 Juli 2016, sehingga total WNI yang berada di tangan bandit Abu Sayyaf menjadi 10 orang.
Sementara itu, Mega, istri dari Ismail yakni salah satu ABK dari tujuh ABK yang diculik, mengatakan sudah sempat berkomunikasi dengan sang suami. Mega mengatakan pemerintah berjanji memberikan pendampingan kepada pihak keluarga.
"Hari ini kami juga sudah mendengar penjelasan dari Kemlu mengenai upaya-upaya yang mereka lakukan dalam pembebasan keluarga kami," kata Mega.
Sumber : BeritaSatu

Jumat, 29 Juli 2016

WNI Jadi Sasaran Empuk Kelompok Abu Sayyaf karena Tebusan Dibayar

Anggota DPR RI, Charles Honoris (Kedua dari kanan) 

WNI kini seperti diincar kelompok Abu Sayyaf. Apabila ada WNI melintas di perairan Filipina Selatan bisa langsung disandera. WNI menjadi sasaran empuk karena tebusan yang dibayar.

"Pemerintah menolak membayar upeti, tapi membolehkan pihak swasta untuk menebus upeti. Akhirnya indonesia dipandang menjadi sasaran empuk," kata pengamat bidang pertahanan Alexsius Jemadu yang juga dosen Universitas Pelita Harapan.

Alexsius menyampaikan ini dalam diskusi Penanganan Perompakan di kawasan Asia Tengara di Universitas Paramadina, Jakarta, Kamis (28/7/2016).
Alexsius membeberkan, konflik berkepanjangan di kawasan Filipinan selatan membuat ekonomi di kawasan itu terpuruk.

"Ekonomi menjadi kebutuhan survive para perompak untuk meminta tebusan dengan menculik WNI," imbuh dia.

Sedang menurut anggota Komisi I DPR Charles Honoris, negara masih belum serius dalam menangani perompakan. Ini terkait tidak adanya persamaan persfektif antara perompakan dan perampokan.

"arena beda perspektif ini membuat negara kita belum serius menangani kasus perompakan secara serius," tegas dia. 

Sumber : DETIK

Minggu, 17 Juli 2016

Pasukan TNI Bisa Masuki Filipina Bebaskan Sandera Atas Mandat PBB


Kelompok teroris asal Filipina Abu Sayyaf masih menyandera sejumlah warga negara Indonesia (WNI).
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPR, Charles Honoris menilai perlu adanya upaya operasi pembebasan (humanitarian intervention) untuk WNI yang disandera kelompok tersebut.
Hal ini, demi keselamatan nyawa para sandera.
"Kami di Komisi I DPR mendukung penuh upaya melakukan operasi pembebasan apapun itu bentuknya, ini harus dilakukan segera dan tidak lagi bisa menunggu," kata Charles dalam keterangan tertulis, Minggu (17/7/2016).
Politikus PDIP itu menjelaskan hukum internasional mengenal doktrin humanitarian intervention, yakni militer negara asing atau pasukan yang diberikan mandat oleh PBB bisa saja masuk ke wilayah kedaulatan sebuah negara untuk menyelamatkan nyawa manusia dan menghindari terjadinya pembunuhan massal.
"Ini pernah dilakukan Amerika Serikat di Kosovo pada tahun 1990-an. Humanitarian Intervention bisa dijadikan preseden pembebasan WNI yang disandera Abu Sayyaf," katanya.
Charles memilih menggunakan terminologi operasi pembebasan ketimbang operasi militer.
Pasalnya, UU Filipina tidak mengizinkan militer asing untuk beroperasi di wilayah kedaulatannya.
"Namun, saya rasa operasi pembebasan untuk menyelamatkan manusia tidak dilarang. Tidak bedanya dengan operasi-operasi penyelamatan yang melibatkan militer asing dalam hal bencana alam seperti longsor dan gempa bumi," jelas Charles.
Ia menegaskan operasj pembebasan terhadap sandera WNI harus segera dilakukan Apalagi, Pemerintah RI sudah tegas menyatakan tidak akan membayarkan uang tebusan. Padahal, penculikan ini bukan didasarkan faktor ideologis tapi semata-mata untuk mencari uang.
"Makin lama sandera ditahan oleh kelompok Abu Sayaf maka makin berbahaya pula nyawa para sandera. Penyelamatan nyawa para sandera harus diutamakan diatas kepentingan politik apapun. Ingat, kejahatan akan menang apabila orang baik tidak melakukan apapun‎," katanya.
Ia juga yakin militer Filipina memiliki koordinat lokasi para sandera dan penyanderaan. Terlebih, ada komitmen bantuan dari Indonesia dan Malaysia.
"Apabila sumber daya intelijen militer negara-negara di kawasan bisa dimaksimalkan saya yakin pembebasan sandera bukan hal yang mustahil dilakukan," katanya.
Sumber : tribunnews

Minggu, 10 Juli 2016

DPR Minta Pemerintah Investigasi Jatuhnya Helikopter TNI AD

Anggota Komisi I DPR Charles Honoris meminta pemerintah segera melakukan investigasi penyebab kecelakaan helikopter Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat yang terjadi di Kalasan, Yogyakarta, kemarin. "Jika perlu segera diadakan evaluasi seluruh armada tempur kita untuk mengetahui sejauh mana kelayakannya," kata dia dalam pernyataan tertulis, Sabtu, 9 Juli 2016.

Politikus PDIP ini menambahkan pengawasan terhadap maintenance alutsista seharusnya diperketat untuk meminimalisir kecelakaan. Anggaran pertahanan yang dinaikkan seharusnya tak menjadi hambatan dalam melakukan perbaikan keseluruhan dari sisi sumber daya manusia maupun alutsista. "Sehingga pertahanan kita juga dapat semakin profesional dan berfungsi sebagaimana mestinya," ucap dia.

Selain itu, Charles meminta Kementerian Pertahanan dan TNI untuk terus menguji kelayakan alat utama sistem persenjataan khususnya alat pertahanan udara pesawat dan helikopter. "Jangan sampai tragedi kecelakaan pesawat atau helikopter terus berulang," ujarnya.

Helikopter Helly Bell 205 A-1 milik TNI AD dengan nomor registrasi HA-5073 jatuh saat sedang menjalankan misi bantuan untuk Pangdam IV Diponegoro. Pesawat menimpa dua rumah milik Heru Purwanto dan Parno yang dalam keadaan kosong. Lokasi jatuhnya pesawat tepat berada di Dusun Kowang Desa Taman martani Kecamatan Kalasan Kabupaten Sleman, Yogyakarta.

Penyebab jatuhnya helikopter itu masih belum jelas. Namun, akibat peristiwa itu tiga orang meninggal, yaitu Letnan Dua Angga Juang, Sersan Dua Yogi Riski Sirait, dan warga sipil Fransisca Nila Agustin.

Sumber : Tempo

Rabu, 22 Juni 2016

PDIP Tegaskan Tak Akan Dukung Cagub Independen


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menegaskan tidak akan mendukung calon gubernur DKI Jakarta dari yang maju dari jalur independen. Pasalnya, kemajuan bangsa ini akibat kerja sama bukan perorangan.

"Kami enggak mungkin mendukung calon indepeden. Bangsa kita bisa maju karena gotong royong jangan mengedepankan individualisme," kata politikus PDIP, Charles Honoris di Jakarta, Minggu 19 Juni 2016.

Anggota Komisi I DPR ini mengatakan, setelah Lebaran akan ada keputusan dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Nantinya, kata dia, partainya akan mengusung kader untuk menjadi Cagub DKI Jakarta.

"Pak Djarot ada, Mba Risma, kami enggak kekurangan stok kader. Kalau PDIP tidak bersama Ahok, kami sudah siap, kami ada Pak Djarot dan Risma. Semua peluang masih terbuka. Kami tunggu saja. Bu Ketum akan memberikan pilihan yang terbaik," pungkasnya.

sumber : sindonews

Rabu, 04 Mei 2016

RUU Kamnas Dinilai Tumpang Tindih Dengan UU TNI/Polri

Anggota Komisi I DPR RI fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Charles Honoris, menilai rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (Kamnas) yang diajukan pemerintah ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016 belum terlalu penting. Sebab, menurut dia, RUU Kamnas kurang sejalan dengan agenda reformasi dalam penguatan hak-hak sipil, berpolitik, dan berserikat.

"Saya khawatir RUU Kamnas bisa mencederai demokrasi ketika dijadikan UU. Saya melihat tak ada urgensi untuk membahas RUU itu dalam waktu dekat," kata Charles, di Surabaya, Selasa (19/4/2016).
Menurut dia, RUU Kamnas bermasalah dari sisi yuridis. RUU Kamnas, kata dia, terkesan ditempatkan lebih tinggi dari UU TNI dan UU Polri. Padahal, dalam filosofi hukum tak boleh menempatkan satu UU di atas UU lainnya.

Dia mencontohkan, dalam draft RUU Kamnas dimungkinkan keterlibatan intelijen dengan kewenangan lebih luas. Padahal, kata dia, urusan dan kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN) telah diatur dalam UU Intelijen.

"Saya berpandangan UU yang mengatur perangkat keamanan negara hari ini masih mampu mengakomodasi segala ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan keamanan nasional," jelasnya.

Menurut dia, saat ini yang diperlukan Indonesia adalah menerapkan UU yang berkaitan dengan keamanan nasional secara konsisten dan menghilangkan ego sektoral. Sebab, jika RUU Kamnas hanya untuk mengantisipasi perkembangan ancaman keamanan nasional, cukup dengan meningkatkan kualitas aparat penegak hukum, meningkatkan fasilitas perangkat penegakan hukum, dan koordinasi antar instansi terkait.

Hal senada juga disampaikan pengamat politik LIPI, Hermawan Sulistyo. Dia berpendapat, yang dibutuhkan pemerintah saat ini adalah profesionalisme TNI di bidang pertahanan dan keamanan.

"Kita sepakat dengan alokasi anggaran TNI sebesar Rp152 triliun sepanjang 2011-2015 dan diteruskan pada tahun anggaran 2016-2019 dengan nilai sebesar Rp152 triliun pula. Tapi TNI harus profesional dan tangguh dalam konteks hankam, bukan TNI yang masuk ke semua lini dalam kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan," tegasnya.
 
Sumber : metrotvnews.com

Jumat, 15 April 2016

PDI-P Gelar Rakerda Bahas Pilkada DKI Besok


Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) akan menyelenggarakan rapat kerja daerah (Rakerda) untuk membahas pemenangan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta 2017. Hal itu diungkapkan anggota Fraksi PDI-P DPR RI Charles Honoris di Balai Kota, Kamis (14/4/2016).
"Sabtu ini kami Rakerda, membicarakan persiapan pemenangan Pilkada 2017. Rakerda ini juga dilaksanakan di daerah lainnya," kata Charles.
Ia menyebutkan baru ada sekitar 6-7 orang yang mendaftar dalam penjaringan cagub DKI ke DPD PDI-P DKI Jakarta. Beberapa orang yang sudah mendaftar itu antara lain Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Abraham Lunggana, kader Partai Demokrat Hasnaeni Moein, dan Staf Ahli Kapolri bidang sosial budaya Irjen Benny Mokalu.
"Semuanya nanti diundang (ke Rakerda)," kata Charles.
Ia sendiri mengaku tidak tertarik maju pada Pilkada DKI Jakarta 2017. Dia masih ingin fokus menjalankan tugasnya sebagai anggota Komisi I DPR RI.
Selain itu, lanjut dia, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri telah menugaskan seluruh kader untuk mendukung penuh pemerintahan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat hingga selesai.
"Sekali lagi, kalau soal pilkada, mekanisme harus dilalui melalui DPP," kata Charles.
PDI-P merupakan satu-satunya partai yang bisa mengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur sendiri. PDI-P memiliki 28 kursi di DPRD DKI Jakarta.
Syarat partai dapat mengusung cagub adalah memiliki minimal 20 persen dari total anggota DPRD DKI Jakarta, atau sebanyak 22 kursi.
Sumber : kompas.com

Rabu, 30 Maret 2016

Politikus PDIP: TNI Dan BIN Harus Segera Gelar Operasi Pembebasan 10 WNI Dari Kelompok Abu Sayyaf

Pemerintah Indonesia harus bergerak cepat, taktis, dan efektif mencari keberadaan 10 Warga Negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok Abu Sayyaf di Filipina.

Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mendorong agar Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) segera memaksimalkan Tim Perlindungan WNI dengan memastikan kondisi keselamatan 10 WNI tersebut.
Baca juga : Pencalonan Djarot Dan Charles Honoris Diusung PDIP Untuk Pilkada DKI Kabar Bohong

"Pemerintah harus segera memastikan kondisi keselamatan 10 WNI tersebut," ujar anggota Fraksi PDI Perjuangan ini, Selasa (29/3/2016).

Pemerintah pun perlu memastikan komunikasi terjalin baik dengan pihak Filipina. "Ini menyangkut aspek ancaman terhadap keselamatan warga negara," ujarnya.

Menurutnya paling penting TNI dan BIN segera menggelar operasi pembebasan sandera.

"Ini sudah jadi wilayah TNI. Pasukan TNI kita sudah punya pengalaman terkait operasi pembebasan sandera seperi yang dilakukan di Somalia. Intinya keselamatan WNI harus tetap menjadi prioris," ucapnya.
Sumber : tribunnews

Jumat, 18 Maret 2016

Indonesia Masih Rawan Teroris, Irjen Tito Hadapi Tugas Berat



Presiden Jokowi telah melantik Irjen Tito Karnavian sebagai kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Tugas Tito dinilai berat mengingat terorisme masih menjadi masalah rawan bagi Indonesia.

"Kalau kita melihat, kalau bicara kerawanan terorisme, kita tak bisa tutup mata. Kita memang masih menjadi target teror. Tentu resikonya besar," kata Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PDI Perjuangan, Charles Honoris, Kamis (17/3).

Dia mengakui, keadaan Indonesia tidak sama dengan negara lain yang penuh teror seperti Suriah atau Irak. Aparat pemerintahan dan keamanan selama ini juga sudah bekerja baik dalam menangkal terorisme. Namun tak bisa disangkal bahwa ancaman terorisme masih ada. Terbukti serangan di Jalan Thamrin Jakarta, beberapa waktu lalu, tetap terjadi walau dengan cepat diredam aparat.

Charles mengapresiasi keputusan Presiden Joko Widodo mengangkat Tito Karnavian sebagai kepala BNPT. Sebab yang bersangkutan memiliki track record baik dalam menanggulangi terorisme. "Waktu menjabat Kapolda di Papua dan Jakarta, saya lihat prestasi Pak Tito baik. Saya kira sudah tepat Pak Jokowi memilih Pak Tito," kata Charles.

Charles juga menilai bahwa salah satu fokus Tito sebagai kepala BNPT adalah menguatkan program deradikalisasi demi mencegah aksi teror.

Dia juga berharap Tito bisa memperbaiki koordinasi BNPT dengan lembaga negara lainnya dalam menjalankan fungsi pencegahan. Dia memberikan contoh, BNPT pernah merekomendasikan memblokir situs internet dengan konten terorisme kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Namun belakangan muncul pro dan kontra, dimana Kemkominfo seakan tak bisa menjawab masyarakat akan pentingnya pemblokiran itu.

Menurut Charles, hal itu mencerminkan kurang baiknya koordinasi BNPT dengan Kemkominfo, sehingga Kemkominfo tak tahu alasan substansial pemblokiran. "Maka BNPT ke depan harus bisa berkoordinasi dengan lembaga negara lainnya. Jadi koordinasi harus baik," tandasnya.

Sumber : beritasatu.com